Demo pelajar Papua tolak makan gratis minta pendidikan

Pada 26 Februari 2025, ribuan anak dari berbagai jenjang sekolah di Kabupaten Deiyai, Papua, melakukan long march dari Lapangan Tomas Adii Waghete menuju kantor bupati. Mereka membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan untuk perbaikan sistem pendidikan.
Yohanes Koutoki, salah satu perwakilan peserta, menyampaikan orasi penolakan terhadap program bantuan makanan yang dinilai tidak menyentuh kebutuhan utama. “Kami butuh fasilitas belajar memadai, bukan sekadar bantuan sementara,” tegasnya di depan kerumunan.
Sekda Deiyai Melianus Pakage menyambut aksi damai ini dengan menjelaskan keterbatasan wewenang pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran. Menurutnya, beberapa kebijakan memang harus mengikuti ketentuan dari pusat.
Uniknya, aksi yang berlangsung tertib ini justru mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian setempat. Seragam putih-merah yang dikenakan peserta menjadi pemandangan menarik sepanjang rute demonstrasi.
Latar Belakang Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) resmi diluncurkan sebagai upaya nasional untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Inisiatif ini digagas oleh Badan Gizi Nasional bersama pemerintah pusat, dengan fokus pada penanganan stunting dan pemenuhan kebutuhan gizi kelompok rentan.
Apa itu Program MBG?
Program MBG adalah intervensi nasional yang menyediakan makanan siap saji bergizi tinggi. Sasaran utamanya meliputi pelajar, ibu hamil, dan balita di 38 provinsi. Menurut laporan resmi, program ini menargetkan 21 juta penerima manfaat hingga akhir 2025.
Di Papua, program ini menuai pro-kontra terkait kontroversi menu berbasis beras. Masyarakat setempat menganggap pangan lokal seperti ubi dan sagu lebih sesuai dengan budaya dan kebutuhan gizi mereka.
Tujuan Program MBG di Papua
Peluncuran MBG di Papua Tengah pada 24 Februari 2025 bertujuan menekan angka stunting yang mencapai 40%. Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti menegaskan, “Asupan bergizi menjadi fondasi penting untuk prestasi belajar anak.”
Namun, alokasi anggaran untuk makanan siap saji masih menjadi perdebatan. Beberapa pihak menyarankan adaptasi menu dengan bahan lokal agar lebih efektif.
Kronologi Demo Pelajar Papua Menolak MBG
Gelombang protes terhadap Program MBG menyebar cepat di berbagai kabupaten Papua sejak 24 Februari 2025. Aksi serentak terjadi di 8 wilayah, termasuk Jayapura dan Mimika, dengan peserta didik sebagai penggerak utama.
Aksi di Kabupaten Deiyai dan Paniai
Di Deiyai, ribuan orang berkumpul di Lapangan Tomas Adii Waghete dengan pengawalan ketat aparat. 120 personel polisi dikerahkan di Paniai untuk memastikan keamanan, meski aksi berlangsung damai.
Menurut laporan Kompas, guru-guru turut mendampingi peserta sebagai bentuk dukungan. “Kami ingin suara mereka didengar tanpa kekerasan,” ujar seorang pendidik yang enggan disebutkan namanya.
Suara Pelajar dalam Orasi dan Spanduk
Spanduk bertuliskan “Sekolah Bukan Warung Makan” di Yahukimo menjadi sorotan. Yel-yel penolakan MBG menekankan tuntutan perbaikan fasilitas belajar dan peningkatan anggaran pendidikan.
Video viral kekerasan oleh ASN Nabire terhadap pengunjuk rasa memicu kecaman. Kapolda Papua menegaskan, “Setiap aksi akan diawasi dengan prinsip hukum dan hak asasi.”
Alasan Penolakan Program MBG oleh Pelajar Papua
Aksi penolakan terhadap Program MBG di Papua muncul dari berbagai faktor mendasar. Masyarakat setempat menilai program ini tidak menjawab kebutuhan utama, terutama di sektor pendidikan. Banyak yang beranggapan bahwa alokasi dana seharusnya difokuskan pada pembangunan fasilitas belajar.
Prioritas Pendidikan di Atas Makan Gratis
Biaya sekolah di beberapa wilayah seperti Wamena bisa mencapai Rp2 juta per tahun. Orang tua sering kesulitan membeli seragam dan buku, sementara program MBG justru mengalokasikan dana besar untuk makanan siap saji. “Kami butuh sekolah layak, bukan makan gratis,” ujar seorang warga.
Anggaran untuk MBG dinilai tidak sebanding dengan kebutuhan mendesak di sektor pendidikan. Beberapa tokoh menyarankan agar dana dialihkan untuk membangun ruang kelas atau menyediakan beasiswa.
Kekhawatiran atas Keterlibatan Aparat Keamanan
Distribusi MBG di Yahukimo menggunakan kendaraan tempur memicu trauma. Masyarakat masih trauma dengan konflik bersenjata yang melibatkan aparat keamanan. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan terhadap program pemerintah.
Beberapa pihak mengusulkan pelibatan gereja atau tokoh adat dalam distribusi. Tujuannya agar program tidak dikaitkan dengan operasi militer. “Kami ingin merasa aman, bukan diawasi,” tambah seorang peserta aksi.
Respons Pemerintah Daerah dan Pusat
Pemerintah daerah dan pusat memberikan tanggapan resmi terkait penolakan program MBG. Langkah-langkah koordinasi segera diambil untuk menyeimbangkan kebutuhan gizi dan tuntutan perbaikan fasilitas belajar.
Pernyataan Sekretaris Daerah Kabupaten Deiyai
Sekretaris Daerah Kabupaten Deiyai, Melianus Pakage, mengumumkan rencana pembentukan lembaga koordinasi khusus. “Kami akan libatkan dinas pendidikan, kesehatan, dan perwakilan orang tua,” jelasnya dalam konferensi pers.
Mekanisme ini bertujuan menyesuaikan menu MBG dengan preferensi lokal. Contohnya, mengganti beras dengan sagu atau ubi sebagai bahan dasar.
Tanggapan Badan Gizi Nasional
Kepala badan gizi nasional, Dadan Hindayana, menegaskan prinsip sukarela dalam pelaksanaan program. “Kami menghargai aspirasi masyarakat dan siap melakukan evaluasi,” ujarnya.
Kemendikdasmen juga berkomitmen mengalokasikan dana BOS untuk alternatif program gizi. Informasi selengkapnya tentang peran pemerintah dalam pembangunan fasilitas belajar bisa dilihat di peningkatan infrastruktur pendidikan di daerah.
- Dialog tiga pihak (pemerintah-sekolah-masyarakat) akan digelar bulan depan
- Penanganan insiden Nabire melalui jalur hukum
- Pelibatan tokoh adat dalam distribusi MBG
Peran TNI dalam Pelaksanaan MBG
Distribusi paket MBG oleh personel militer menjadi sorotan utama di wilayah konflik. TNI dilibatkan untuk memastikan logistik sampai ke daerah terpencil, namun metode ini menuai tanggapan beragam.
Pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin
Menhan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan, “Keterlibatan TNI murni bersifat teknis operasional. Medan yang berat di Provinsi Papua membutuhkan pendistribusian cepat.”
Ia merujuk pada operasi Kogabwilhan III yang sukses menyalurkan 1.000 paket MBG di Intan Jaya. Menurutnya, keamanan personel juga menjadi pertimbangan utama.
Kontroversi dan Kritik dari Masyarakat
LSM setempat menilai pelibatan TNI dalam program sipil berpotensi memicu ketegangan. “Ini adalah bentuk militerisasi yang tidak perlu,” protes Koordinator YPPK Bilogai.
Beberapa fakta yang menjadi sorotan:
- 72% distribusi MBG di Papua melibatkan personel militer
- Penolakan warga di Yahukimo akibat trauma konflik bersenjata
- Usulan pembentukan tim gabungan sipil-militer
“Kami khawatir program ini justru memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,”
Dampak Program MBG di Daerah Konflik
Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di wilayah rawan konflik menimbulkan efek beragam. Di beberapa daerah, program ini justru memperburuk ketegangan yang sudah ada.
Kasus Intan Jaya dan Yahukimo
Di Intan Jaya, sekitar 600 orang memilih mengungsi ketimbang menerima bantuan. Mereka khawatir dengan kehadiran aparat yang mengawal distribusi. “Kami trauma dengan situasi bersenjata,” ujar seorang warga lewat wawancara.
Data mengejutkan muncul dari Yahukimo:
Parameter | Intan Jaya | Yahukimo |
---|---|---|
Jumlah pengungsi | 600 orang | 350 orang |
Sekolah non-aktif | 12 unit | 8 unit |
Distribusi via udara | 75% | 40% |
Trauma dan Ketidakpercayaan Masyarakat
Ancaman dari kelompok bersenjata turut memengaruhi sikap warga. Di tiga kabupaten, siswa terpaksa belajar di tenda karena gedung sekolah ditutup.
“Program bantuan seharusnya membangun kepercayaan, bukan ketakutan.”
Beberapa solusi mulai dipertimbangkan:
- Pelibatan gereja dalam distribusi
- Pemetaan zona aman untuk kegiatan belajar
- Pelatihan guru tentang trauma healing
Dampak psikologis pada anak di wilayah konflik menjadi perhatian serius. Banyak yang mengalami gangguan tidur setelah melihat personel bersenjata di sekitar sekolah.
Pendapat Ahli dan Aktivis Papua
Para ahli dan aktivis Papua memberikan perspektif unik tentang polemik Program MBG. Mereka menawarkan analisis berbasis data dan solusi alternatif yang selaras dengan budaya lokal.
Analisis Theo Hesegem tentang Kebutuhan Pendidikan
Antropolog Universitas Cenderawasih, Theo Hesegem, menekankan pentingnya memahami kebutuhan dasar masyarakat. “Program bantuan harus menyentuh akar masalah, bukan sekadar gejala,” tegasnya.
Studinya menunjukkan 78% orang tua di Pegunungan Tengah lebih memprioritaskan perbaikan sekolah daripada bantuan pangan. Data ini sejalan dengan protes yang terjadi di berbagai kabupaten.
Kritik Cahyo Pamungkas dari BRIN
Peneliti BRIN Cahyo Pamungkas mengkritik pendekatan pemerintah yang terlalu seragam. “Kebijakan nasional sering mengabaikan keragaman budaya,” ujarnya merujuk pada laporan perubahan pola konsumsi pangan.
Rekomendasinya mencakup:
- Pelibatan UMKM lokal dalam penyediaan bahan
- Adaptasi menu berbasis sagu dan ubi
- Pemetaan partisipasi perempuan dalam program
“Stigmatisasi penolak program sebagai separatis justru memperlebar jarak antara negara dan masyarakat.”
Konsep memoria passionis juga diangkat sebagai penjelasan psikologis. Masyarakat Papua cenderung menolak program yang dianggap mirip kebijakan kolonial.
Para ahli sepakat bahwa pendidikan berkualitas menjadi tugas bersama untuk membangun kepercayaan. Solusi berbasis kearifan lokal dinilai paling tepat untuk memenuhi aspirasi masyarakat.
Alternatif Solusi dari Pemerintah Provinsi
Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan mengajukan solusi alternatif untuk menyelesaikan polemik MBG. Surat Keputusan Gubernur No. 12/2025 menjadi landasan koordinasi tiga dinas terkait. Langkah ini diharapkan bisa menjawab kebutuhan masyarakat secara lebih tepat.
Peran Dinas Pendidikan dan Pertanian
Dinas Pendidikan bekerja sama dengan Dinas Pertanian menyusun model terintegrasi. Program utamanya meliputi:
- Pembuatan kebun sekolah dengan 15 komoditas lokal
- Pelatihan guru sebagai edukator gizi
- Forum konsultasi bulanan dengan perwakilan siswa
Data implementasi program di dua kabupaten:
Kegiatan | Deiyai | Paniai |
---|---|---|
Kebun sekolah | 8 unit | 12 unit |
Guru terlatih | 45 orang | 60 orang |
Anggaran | Rp1,2 miliar | Rp1,8 miliar |
Dialog dengan Pelajar dan Tokoh Adat
Pemerintah daerah mengalokasikan Rp5 miliar untuk sosialisasi program. “Kami ingin memastikan semua pihak memahami manfaatnya,” jelas Kepala Dinas Pendidikan Papua Pegunungan.
Beberapa langkah konkret yang sudah dilakukan:
- Pertemuan dengan 15 tokoh adat dari berbagai wilayah
- Kunjungan ke 20 sekolah untuk mendengar aspirasi
- Kolaborasi dengan LSM kesehatan internasional
“Solusi terbaik adalah menggabungkan kearifan lokal dengan kebijakan nasional.”
Peran aparat keamanan juga disesuaikan dengan mengurangi keterlibatan langsung. Pendekatan baru ini diharapkan bisa membangun kepercayaan masyarakat.
Protes dan Ancaman dari Kelompok Bersenjata
Operasi keamanan digelar di tiga kabupaten rawan menyusul ancaman dari kelompok bersenjata. Provinsi Papua kembali memanas dengan meningkatnya aktivitas bersenjata di beberapa wilayah terpencil. Situasi ini berpotensi mengganggu distribusi bantuan untuk sekolah.
Pernyataan TPNPB OPM
TPNPB Kodap VIII Intan Jaya mengeluarkan ultimatum penolakan terhadap Program MBG. Mereka menuduh program ini sebagai upaya pemerintah untuk mengontrol orang-orang di daerah konflik.
Dalam pernyataan resmi, kelompok ini mengancam akan mengganggu distribusi jika program tetap dilanjutkan. Dua sekolah di Pegunungan Bintang dilaporkan terbakar menyusul ketegangan ini.
Respons TNI dan Polri
TNI dan Polri membentuk operasi gabungan untuk mengamankan distribusi logistik. Kapendam XVII Cenderawasih membantah isu racun dalam makanan bantuan sebagai hoaks.
Beberapa langkah yang diambil:
- Penambahan 300% personel pengamanan di daerah rawan
- Mediasi melalui tokoh agama setempat
- Pemetaan rute alternatif distribusi
Menurut analisis, penolakan kelompok bersenjata dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan terhadap pemerintah. “Kami berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa memicu konflik,” tegas perwira TNI yang bertugas.
Kesimpulan
Penolakan terhadap program MBG menunjukkan pentingnya mendengarkan suara masyarakat. Kebutuhan utama bukan sekadar bantuan makanan, tetapi perbaikan sistem belajar yang lebih baik.
Integrasi antara pemenuhan gizi dan peningkatan fasilitas sekolah bisa menjadi solusi. Pendekatan berbasis budaya lokal akan membuat kebijakan lebih diterima. Partisipasi aktif warga dalam perencanaan sangat diperlukan.
Dialog antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperkuat. Kolaborasi ini penting untuk menciptakan kebijakan yang tepat sasaran. Masyarakat bisa ikut mengawasi pelaksanaannya.
Sebagai langkah awal, memahami akar masalah penolakan bantuan menjadi kunci. Solusi berkelanjutan harus fokus pada pemberdayaan, bukan sekadar bantuan sementara.